Oleh
Dhev Fretes Bakkara
(Fotografer/Jurnalis)
Menjadi jurnalis sejatinya adalah meresapi panggilan jiwa sebuah laku sunyi dalam pengabdian pada kebenaran, keadilan, dan nurani kemanusiaan.
Bila dijalani dengan ketulusan hati dan keberanian, ia akan menjelma menjadi lentera yang menuntun masyarakat menembus gelapnya zaman, menyingkap wajah realitas. Meski getir, namun hakiki.
Namun kini, cahaya itu kian meredup. Marwah profesi yang dahulu agung, mulai tercemari oleh tangan-tangan yang memeluk kepalsuan. Jurnalisme bukan lagi ladang pengabdian, melainkan panggung untuk sandiwara kekuasaan dan permainan kepentingan. Pena tak lagi menulis dengan nurani, melainkan diarahkan oleh titah uang dan rayuan kuasa.
Bermunculan sosok-sosok bertopeng jurnalis. Mereka yang mengkoleksi kartu pers bukan untuk memburu kebenaran, tapi untuk mengakses istana kuasa, meraup laba dunia, dan menyematkan tameng hukum palsu di dada. Mereka hadir bukan untuk mendengar denyut rakyat, melainkan untuk mengintai celah, mengancam, dan menciptakan fatamorgana pengaruh.
Luka ini menganga di hati para jurnalis sejati, yang meyakini bahwa pena lebih sakti dari pedang. Bukan untuk melukai, melainkan untuk membuka selubung dusta. Mereka yang setia berjalan di lorong sunyi, menelusuri jejak fakta, memotret nestapa, dan menjadi suara bagi mereka yang dibungkam dunia.
Namun, cahaya itu belum padam. Masih ada yang setia menjaga nyalanya jurnalis yang tak goyah oleh gemerincing uang. Tak tunduk pada bisik kekuasaan. Tak gentar pada bayang ancaman. Mereka menulis bukan karena ingin dikenal, tapi karena tak sanggup diam di hadapan kebohongan. Mereka bekerja dengan kepala dingin, hati hangat, dan jiwa yang menyala oleh cinta pada profesi.
Mereka adalah para penjaga marwah jurnalisme yang tak hanya tunduk pada hukum tertulis, tetapi terlebih pada hukum nurani. Yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan di atas segala tafsir legalistik yang kering empati. Sebab di balik setiap berita ada kehidupan, ada luka yang tak boleh dipermainkan, dan ada harapan yang tak boleh dipadamkan.
Di tengah arus kebohongan yang membanjiri ruang-ruang informasi, biarlah jurnalisme yang bermartabat tetap berdiri. Sebab rakyat membutuhkan cahaya yang jujur. Sebab kebenaran memerlukan saksi yang setia. Dan sebab sejarah tak pernah alpa mencatat siapa yang berkhianat pada nurani, dan siapa yang tetap tegak dalam barisan keadilan dengan menjunjung kemanusiaan sebagai hukum tertinggi di atas segalanya. (*)