Sinata.id – Banjir bandang meluluhlantakkan Pining, Kecamatan Gayo Lues, sejak 26 November 2025. Akses terputus total, warga terpaksa berjalan kaki berhari-hari menembus medan berbahaya untuk menjemput bantuan dan bertahan di tengah bencana.
Di balik hutan yang sunyi dan tanah yang masih lembek sisa amukan banjir bandang, jeritan warga Kecamatan Pining, Aceh, menggema dalam kalimat getir yang lahir dari keputusasaan: lebih baik tumbang di jalan perjuangan daripada perlahan mati menunggu pertolongan.
Bencana banjir bandang yang menerjang wilayah ini sejak 26 November 2025 bukan sekadar memutus akses, tetapi juga memaksa warga mengambil keputusan ekstrem.
Ketika logistik menipis, jalur terputus total, dan bantuan belum menjangkau kampung mereka, sejumlah warga memilih berjalan kaki berhari-hari menembus medan berbahaya menuju pusat kabupaten, demi membawa pulang harapan bagi keluarga yang ditinggalkan.
Langkah itu bukan tanpa risiko. Kaki yang melepuh, tubuh yang nyaris rubuh karena lapar, hingga ancaman longsor dan bebatuan dari tebing harus mereka hadapi.
Baca Juga: Sempat Diisukan ‘Menghilang’, Bupati Aceh Tamiang: Tidak Semua Harus Terlihat
Namun, pilihan lain nyaris tak tersedia. Seorang warga mengaku tak sanggup lagi menunggu.
Baginya, waktu adalah soal hidup dan mati, terutama bagi anak-anak yang bertahan dengan sisa makanan seadanya.
Kondisi geografis memperparah keadaan. Camat Pining, Win Julpian, memastikan kendaraan roda empat hanya bisa mencapai Desa Uring.
Selebihnya, jalur menuju pusat kecamatan tidak bisa dilalui, bahkan oleh kendaraan darurat.
Dari titik terakhir itu, jalan hancur dan tergerus banjir memaksa warga melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki di jalur licin dan terjal.
Banjir bandang tak hanya mengoyak akses transportasi.
Sawah rusak, kebun lenyap diterjang arus, dan rumah-rumah terendam lumpur.
Sumber penghidupan yang selama ini menopang kehidupan warga mendadak hilang.
Dalam hitungan jam, rasa aman berubah menjadi kecemasan berkepanjangan.