Oleh : Pastor Dian Panomban
Saat Teduh Abba Home Family – Senin, 11 Agustus 2025, ada sebuah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan masalah yang tersembunyi namun mematikan: *fenomena gunung es.* Kapal Titanic yang megah dan canggih pada zamannya hancur bukan karena bagian gunung es yang terlihat, melainkan karena bagian yang jauh lebih besar dan tersembunyi di bawah permukaan laut.
Fenomena ini juga berlaku dalam kehidupan keluarga. Sering kali, yang merusak hubungan suami istri bukanlah hal-hal besar yang terlihat jelas, melainkan hal-hal kecil dan tersembunyi—sikap, luka batin, dan kebiasaan buruk yang tidak diselesaikan. Jika dibiarkan, semua itu bisa menghancurkan keharmonisan keluarga, bahkan dalam rumah tangga Kristen sekalipun.
Ed Cole, tokoh kegerakan pria sejati, pernah berkata, “Jika Anda mau merasakan surga atau neraka, menikahlah.” Maksudnya sederhana: pernikahan yang harmonis akan membuat hidup terasa seperti di surga, tetapi pernikahan yang rusak akan membuat hidup seperti neraka di bumi.
Firman Tuhan dalam Maleakhi 2:14–16 menegaskan bahwa Allah adalah saksi perjanjian nikah. Dia menghendaki kesatuan yang melahirkan keturunan ilahi. Karena itu, fokus utama kita bukan mencari kesalahan pasangan, tetapi memulihkan diri kita sendiri—membiarkan Tuhan menyembuhkan luka batin, mengubah karakter, dan memperbarui hati.
Keharmonisan keluarga tidak hanya ditentukan oleh masalah besar yang terlihat, tetapi sering kali hancur karena luka batin dan kebiasaan buruk yang tersembunyi. Karena itu, setiap pasangan perlu memulai dari pemulihan pribadi, menguduskan diri sesuai janji nikah, serta memandang keluarga sebagaimana Tuhan memandangnya—sebagai ciptaan yang berharga.
Ada dua hal penting yang perlu dilakukan untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. Pertama, menguduskan diri sesuai janji nikah—tetap menjadi satu apapun tantangannya. Kedua, memandang keluarga sebagaimana Tuhan memandangnya: ciptaan-Nya yang mulia dan berharga, yang tidak boleh direndahkan atau dilecehkan.
Jika kita mulai dari pemulihan pribadi, maka hubungan dalam keluarga pun akan ikut diperbarui. Keharmonisan bukan hasil dari keadaan yang sempurna, tetapi dari hati yang mau setia, saling mengasihi, dan berpegang pada janji di hadapan Tuhan. (A27)