Oleh: Anna Martyna Sinamo
Pelaporan empat aktivis Pakpak oleh Bupati Pakpak Bharat, Franc Bernhard Tumanggor, bukan sekadar persoalan hukum biasa.
Peristiwa itu menghadirkan pertanyaan yang jauh lebih mendasar: Sejauh mana pemerintah daerah siap menerima kritik dari warganya sendiri? Dan apakah laporan polisi adalah jawaban yang pantas terhadap suara publik?
Kita tahu, kritik lahir bukan dari ruang kosong. Ia muncul ketika janji tak bersanding dengan realisasi.
Dalam dua periode kepemimpinan, janji perbaikan kualitas SDM suku Pakpak belum terlihat memuaskan. Bahkan di gerbang Kantor Bupati saja, kandang ayam masih tegak berdiri seolah menjadi simbol stagnasi—sesuatu yang seharusnya mudah dibenahi, namun dibiarkan seolah tak penting untuk wajah pemerintahan.
Lalu soal keterwakilan etnis. Dalam narasi politik, Pakpak Bharat dibawa dengan slogan penguatan identitas lokal. Namun faktanya, posisi strategis lebih banyak diduduki pejabat dari luar etnis Pakpak.
Ini bukan soal anti terhadap suku lain, tetapi soal komitmen terhadap janji yang pernah diucap di panggung kampanye. Jika SDM Pakpak dinilai layak menjadi bahan jualan politik, mengapa setelah menang justru tidak diberdayakan?
Puncaknya adalah momen ketika bencana longsor terjadi: 101 titik terdampak, dua warga meninggal. Masyarakat membutuhkan pemimpin yang hadir penuh, bukan sekadar singgah sebentar lalu kembali menghilang.
Pemimpin yang hadir kala pesta adalah biasa, tetapi pemimpin yang hadir kala rakyat berduka adalah pemimpin yang dicatat sejarah.
Isu tapal batas dengan Kabupaten Dairi semakin mempertegas masalah. Permendagri Nomor 28 Tahun 2019 telah terbit, namun tanda batas belum juga berdiri kokoh di lapangan.
Mengapa begitu lambat? Apakah sekadar lupa, atau memang tak masuk daftar prioritas? Ketidakjelasan batas tidak hanya soal plang—ia menyangkut identitas wilayah, kewenangan pemerintahan, dan martabat masyarakat.
Karena itu masyarakat Pakpak merencanakan aksi nyata: memasang sendiri tanda tapal batas pada 22 Desember 2025 di Sortagiri Banu Harhar. Sebuah pesan keras bahwa ketika pemerintah lamban, rakyat akan bergerak. Diam bukan pilihan.
Mari kita jujur: kritik bukan musuh pemerintah, kecuali bagi mereka yang alergi terhadap evaluasi. Kritik adalah mesin pengingat, bukan alat merobohkan kekuasaan. Pemerintah yang kuat bukan yang membungkam kritik, melainkan yang mampu merespons dengan kerja nyata.
Melaporkan aktivis ke polisi justru menimbulkan kesan bahwa kekuasaan lebih memilih menghadapi suara rakyat dengan ketakutan, bukan dengan dialog. Padahal demokrasi tumbuh dari keberanian pemerintah mendengar, bukan dari keberhasilan membungkam.
Pakpak Bharat tidak membutuhkan pemimpin yang hanya hadir saat upacara dan acara formal. Daerah ini memerlukan pemimpin dengan telinga untuk mendengar, mata untuk melihat persoalan rakyat, dan hati untuk mengakui kritik sebagai bagian dari proses memperbaiki diri.
Sebab pada akhirnya, kursi kekuasaan hanyalah titipan. Yang berdaulat tetap rakyat. Dan suara rakyat tidak boleh diperlakukan seperti ancaman.
Kritik bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk mengingatkan. Bila kritik dibungkam, sejarah akan mencatat bukan kehebatan kekuasaan, melainkan ketakutannya.
Salam literasi. Mari kawal demokrasi dengan suara yang jernih. (A27)